Thursday, May 31, 2007

GAR FUNGSI TER DLM OTDA

TATARAN KEWENANGAN
PENYELENGGARAAN FUNGSI TERITORIAL
DALAM PERSFEKTIF OTONOMI DAERAH
____________________________________

1. Pendahuluan.

a. Wacana politik yang berkembang akhir-akhir ini memiliki dampak bola salju (snow-balling effects) ada dua yaitu kelangsungan dari fungsi teritorial yang selama ini menjadi tugas TNI khususnya TNI AD dan implementasi dari pelaksanaan Otonomi Daerah (Otda) yang telah diatur dalam UU Nomor : 22 Tahun 1999. Pada wacana pertama, telah muncul pro dan kontra tentang perlu dan tidaknya terhadap keberadaan Komando Teritorial ( Koter ) di daerah mulai dari Bintara Pembinaan Desa (Babinsa) sampai dengan Komando Daerah Militer (Kodam). Bagi kelompok masyarakat yang pro kehadiran TNI dengan aparat Koter di daerah dianggap telah memberikan rasa aman, ketimbang kehadiran instansi lain seperti Polri maupun Pemda. Disadari bahwa kebutuhan akan rasa aman tersebut bersifat temporer, sebab bila saatnya nanti Polro telah mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mampu menegakan supremasi hukum, maka kehadiran TNI mungkin mulai surut atau akan danggap sebagai masalah di masyarakat. Seperti halnya Fungsi Sosial Politik dimasa lalu, pada awalnya begitu didambakan, karena ada keepentingan tertentu dalam kelompok masyarakat, khususnya dalam menghadapi komunis dan penegakan landasan pembangunan bangsa ke depan. Setelah bangsa ini berhasil secara gemilang mengatasi komunis di Indonesia dan landasan pembangunan melalui pencapaian stabilitas telah tercapai, maka keterlibatan TNI dalam masalah Sospol dituntut untuk dihapus. Akankah hal ini terjadi pada fungsi Teritorial yang masih dimiliki TNI saat ini, setelah masyarakat mampu membangun dirinya sendiri, sehinga kehadiran TNI selaku Koter tidak diperlukan lagi.

b. Sementara itu pelaksanaan Otda sebagai wacana kedua telah menjadi semacam eforia yang memunculkan isu kedaerahan. Desentralisasi yang dilaksanakan di daerah telah mengurangi kewenangan pusat yang bersifat sentralistis sebelumnya. Dengan adanya desentralisasi ada kewenangan pusat yang tidak di desentarlisasikan meliputi Fiscal dan Moneter, politik luar negeri, Peradilan, pertahanan dan keamanan, agama dan beberapa kewenangan lainnya.
/Isu. . . . . . . .

Isu Otda tersebut telah menimbulkan semangat baru dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah yang implementasinya telah menimbulkan dampak negatif seperti terjadinya penolakan terhadap kebijakan pusat yang dianggap mencampuri urusan daerah. Di sisi lain pelaksanaan Otda telah menimbulkan persengketaan wilayah teritorial dan wilayah laut antar daerah lainnya. Dalam pelaksanaan pembinaan terotorial dimana akan terjadi pengalihan kewenangan fungsi pembinaan dari TNI ke pemerintahan, maka akan menjadi permasalahan tersendiri terhadap mekanisme pembinaan yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh di wilayah.

c. Disisi lain pelaksanaan Binter yang bertujuan untuk membina potensi nasional menjadi Ruang, Alat dan kondisi Juang untuk kepentingan pertahanan dan kemanan negara selama ini dilaksanakan oleh TNI khususnya TNI AD telah menimbulkan pertanyaan di kalangan TNI sendiri. Binter yang dalam pelaksanaannya oleh TNI AD seolah-olah hanya membina wilayah daratan saja, pada hal wilayah nasional terdiri dari wilayah darat, laut dan udara. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan fungsi pertahanan di daerah maka tidak terlepas dari pemanfaatan ketiga wilayah tersebut dan keterlibatan dari komponen angkatan bersenjata lainnya selain TNI AD. Walaupun secara umum masyarakat emengenal Koter selaku pelaksana Binter di daerah, khususnya berkaitan dengan potensi nasional yang ada di daerah, namun angkatan lainpun sebenarnya sudah melakukan hal yang sama, hanya saja tidak pada dimensi sebagai mana yang dilakukan oleh TNI AD. Apabila dipikir secara jernih sebenarnya Binter yang dilaksanakan oleh TNI AL dan TNI AU esensinya lebih pada pelaksanaan Binter yang sesungguhnya, tanpa adanya bias dengan kepentingan pemerintahan di daerah. Hal ini terbukti dari tidak adanya permasalahan yang timbul sebagai akibat dari keterlibatannya dalam kegiatan Binter sebatas yang dilakukan selama ini. Berbeda dengan TNI AD, keterlibatan Koter di masa lalu lebih bernuansa politik ketimbang untuk kepentingan pertahanan dan keamanan. Akibat dari keterlibatannya dalam masalah politik, Koter menjadi tidak toleran, sehingga menimbulkan rasa antipati dalam masyarakat.

d. Sejalan dengan perkembangan reformasi saat ini yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, maka tuntutan supremasi hukum telah mengemuka, sehingga landasan-landasan hukum dalam setiap kegiatan oleh institusi seperti TNI dalam melaksanakan kegiatan Binter sangat dibutuhkan.
/Selama. . . . . . .

Selama ini landasan yang digunakan oleh TNI dalam melaksanakan Binter, baik dalam landasan hukum maupun landasan sejarah hanya bersifat pemenaran belaka, tanpa ada kewenangan-kewenangan secara khusus yang diberikan kepeda TNI yang diatur dalam suatu undang-undang. Menyadari akan hal ini dan seiring dengan makin mengemukanya pelaksanaan Otda, maka disadari oleh TNI kedepan masalah Binter hanya terbatas pada hal-hal yang relevan dengan fungsi perthananan yang dimiliki oleh TNI sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Sejauh mana keterlibatan TNI dalam masalah Binter dihadapkan pada upaya pertahanan negara dan sejauh mana kewenangan Pemda dalam ikut serte dalam penyiapan potensi wilayah akan dibahas dalam tulisan berikut ini.

2. Kerangka Konseptual.

a. Redifinisi dan reposisi Binter.

1) Binter ke depan tidak hanya merupakan masalah pembinaan potensi nasional di darat, tetapi juga pembinaan potensi wilayah di laut dan di udara. Hal ini seiring dengan wilayah teritori nasional yang mencakup ketiga bidang tadi.

2) Binter ke depan merupakan fungsi pemerintahan. Hal ini didasari pada hakekat Binter adalah untuk kepentingan pertahanan negara. Sedangkan pertahanan negara diselenggarakan melalui upaya pembangunan dan pembinaan daya dan kekuatan tangkal negara dan keutuhan wilayah nasional. Pertahanan negara diselenggarakan oleh pemerintahan dan dipersiapkan secara dini dengan mewujudkan Sistim Pertahanan Semesta yang diimplementasikan dengan cara :
a) Melibatkan seluruh komponen kekuatan bangsa secara terintegrasi yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi wilayah.

b) Menempatkan TNI sebagai kekuatan utama yang disusun dalam komando utama operasi dan didukung oleh seluruh komponen pertahanan lainnya.

/c) Mengelola. . . . . . .


c) Mengelola potensi pertahanan di daerah, merencanakan, menyiapkan sumber daya nasional yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah daerah.

b. Binter dilihat dari aspek pembinaannya dibidang pertahanan, keamanan dan dalam rangka pembangunan memberikan tataran kewenangan pada instansi sebagai berikut :

1) Bidang Pertahanan. Dalam kontek pertahanan dapat dipisahkan dalam dua pengertian yaitu aspek pembinaan dan aspek penggunaan. Pada aspek pembinaan lebih berat pada penyiapan potensi pertahanan dalam masa damai untuk sewaktu-waktu dipergunakan dalam keadaan perang. Mengingat potensi pertahanan berada di wilayah dan sesuai dengan Otda merupakan kewenangan daerah, maka pembinaannya juga merupakan kewenangan daerah dengan dibantu oleh TNI sebagai pembina materi teknis pertahanan. Sedangkan dari aspek penggunaan kekuatan termasuk dalam hal ini pembinaan kekuatan siap operasional merupakan kewenangan TNI.

2) Bidang Keamanan. Pemisahan secara tegas antara keamanan dan pertahanan telah menimbulkan masalah terutama berkaitan dengan ancaman yang dihadapi, dimana ancaman tersebut telah menyentuh sendi keutuhan dan kedaolatan NKRI, baik yang datang dari dalam maupun luar negeri serta kepentingan nasional lainnya, maka keamanan tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh Polri. Keterlibatan Polri terbatas pada masalah penegakan hukum dan letertiban masyarakat. Munculnya gerakan separatisme seperti pemberontakan bersenjata, maupun dalam tahap gerakan bawah tanah di dalam negeri ditangani dengan melibatakan berbagai instansi terkait baik TNI, Polri, Pemda maupun instansi vertikal lainnya. Sementara itu pengamanan terhadap kepentingan nasional baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri juga tidak mampu di atasi sendiri oleh kepolisian, tetapi akan melibatkan berbagai instansi lain baik TNI, Pemda maupun instansi vertikal lainnya seperti departemen terkait.


/3) Bidang. . . . . . .


3) Bidang Pembangunan Nasional di Daerah. Pembangunan Nasional di daerah dilaksanakan Pemda dengan azas desentralisasi, dekonsentralisasi dan perbantuan. Dalam tahap perencanaan, persiapan dan pelaksanaan pembangunan tersebut mungkin kewenangan Pemda sangat menonjol. Tetapi dalam menjaga agar pembangunan dapat berkesinambungan maka peran aparat kepolisian perlu dilibatkan terutama berkaitan dengan penegakan hukum dan memberikan kepastian dalam penerapan hukum di masyarakat. Agar dapat lebih efektif dalam pengawasan dan memberikan perlindungan dan kepastiasn hukum, maka perangkat kepolisian sepantasnya berada pada perangkat kekuasaan Pemda. Sedangkan untuk menyipakan potensi wilayah menjadi kekuatan pertahanan di daerah apabila dilakukan oleh Pemda, akan mengalami kesulitan secara tehnis, sehingga diperlukan adanya partisipasi secara tehnis dari TNI untuk memberikan perbantuan kepada Pemda. Apapun wujudnya struktural perbantuan tersebut tidaklah penting. Jauh lebih penting adalah adanya kesadaran untuk menerima kenyataan bahwa penyiapan potensi wilayah menjadi kekuatan pertahanan yang berdaya guna di masa damai akan memberikan kontribusi positif dimasa perang.

c. Konsepsi ancaman. Dalam globalisasi saat ini dengan hadirnya kekuatan nasional dalam mengatasi berbagai masalah keamanan kawasan telah memberikan perubahan dalam pemahaman terhadap ancaman saat ini dan di masa depan. Adapun konsepsi ancaman kedepan dan saat ini adalah sebagai berikut :

1) Ancaman dari luar. Sesuai dengan perkembangan dunia saat ini nampaknya ancaman suatu negara dari luar relatif kecil dalam bentuk invasi. Keterlibatan negara lain seperti halnya pasukan multi nasional sebagai polisi dunia dipastikan akan menjadi kenyataan. Namun demikian dalam sekala tertentu ancaman dalam bentuk perang terbatas dan beragai bentuk persengketaan di perbatasan masih akan terus terjadi. Namun demikian penyelesaian persengketaan perbatasan ini realatif mudah, dibandingkan terjadinya pendudukan terhadap sebagian wilayah suatu negara.

/Hal. . . . . . .



Hal lain yang menjadi perhatian negara kecil dan berkembang adalah ancaman dalam bentuk kehadiran pasukan asing karena undangan ( Invitation Forces) kelompok tertentu di dalam negeri dan faktor kepentingan lain dari negara yang melalukan invasi tersebut. Kehadiran invitation forces mungkin tidaf permanen selama kepentingan nasional negara tersebut dapat dilindungi di negara tersebut.

2) Ancaman dari dalam. Bagi negara berkembang ancaman dari dalam negeri masih sangat potensial dapat terjadi, akibat terjadi perubahan paradigma pembangunan dan kemajuan jaman yang pesat sehingga menimbulkan ketidak puasan suatu daerah terhadap kebijaksanaan pusat yang kurang memihak daerahnya. Berdasarkan pengalaman masa lalu dan prediksi kedepan ancaman dari dalam negeri dapat berupa :

a) Pemberontakan Bersenjata (Rebellion Forces) dapat terjadi setiap saat dan sesuai dengan hukum humaniter kelompok ini termasuk combatan, sehingga penanganannya pun dilakukan oleh unsur combatan yaitu dari TNI.

b) Kerusuhan sosial (social disturbance) dalam sekala tertentu dapat terjadi mana saja tidak tergantung pada negara maju atau berkembang. Mengatasi ancaman ini sangat bervariasi, sebab ada yang hanya menggunakan unsur national guard permasalahan sudah dapat diatasi. Tetapi ada negara yang karena tidak memiliki kemampuan seperti itu dapat mengerahkan unsur militer dalam penanganannya. Pelibatan unsur kepolisian relatif belum memungkinkan, walaupun beberapa negara mampu dilakukan oleh unsur kepolisian.

3) Ancaman Bencana Alam (disaster). Suatu negara dapat terancam oleh bencana alam dan negara tersebut harus melakukan upaya menghadapi sesuai dengan tingkat ancaman yang dihadapi. Makin kecil wilayah teritori suatu negara maka makin besar tingkat ancaman oleh bencana alam yang dihadapi. Dalam rangka menghadapinyapun dibutuhkan keterlibatan potensi nasional yang ada di negara tersebut.

/4) Ancaman. . . . . . . .


4) Ancaman terhadap kepentingan nasional (national interest). Beberapa negara didunia persepsi ancamannya telah bergeser dari ancaman fisik menjurus pada ancaman yang bersifat non fisik. Dalam menghadapinyapun dibutuhkan rumusan yang tepat, sehingga kepentingan nasionalnya dapat terlindungi tanpa menimbulkan reaksi yang keras dari kelompok negara lainnya. Ancaman terhadap kepentingan nasional tersebut dapat terjadi di luar wilayah negara atau di wilayah negara lain.

3. Analisis Masalah.

a. Kewenangan TNI dalam Binter saat ini disepakati untuk dikurangi dan keterlibatannya terbatas pada masalah yang berkaitan dengan aspek pertahanan saja. Di masa lalu dan saat ini Binter dilaksanakan oleh TNI dalam bentuk Metode Binter yaitu Bhakti TNI, Pembinaan Keamanan Wilayah (Binkamwil) dan Komunikasi Sosial ( Komsos). Dalam melaksanakan metode binter tersebut setiap prajurit TNI yang bertugas di bidang teritorial dituntut harus memiliki lima kemampuuan yang meliputi kemampuan Intelijen Teritorial, Kemampuan Penguasaan Wilayah, Kemampuan selaku Inovator Pembangunan, Kemampuan Pembinaan Teritorial dan Kemampuan Pembinaan Rakyat Terlatih. Dengan adanya refungsionalisasi Binter kepada Pemda maka kemampuan yang dituntutkan pada aparat teritorialpun perlu pembatasan. Untuk lebih jelas dalam pemahaman terhadap kewenangan TNI dalam masalah-masalah nasinal dapat dilhat dalam matrik seperti terlampir.












/Dengan. . . . . .

Dengan memperhatikan matrik tersebut diatas, walaupun masih relatif sederhana telah memberikan tataran kewenangan yang terbatas bagi TNI dalam keterlibatannya di sektor tertentu. Keterlibatan TNI dalam rangka mempertahankan wilayah NKRI mutlak dan merupakan kewenangan Presiden selaku Kepala Negara untuk mengambil langkah-langkah awal menghadapi musuh yang melakukan invasi ( diberi tanda *). Hal yang sama dapat dilakukan pada pemberontakan bersenjata namun atas persetujuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah (diberi tanda **). Sedangkan untuk kerusuhan masa kehadiran TNI atas permintaan Polri maupun Pemda (diberi tanda ***). Keterlibatan TNI secara langsung dapat terjadi pada masalah yang menyangkut masalah kepentingan nasional yang ada di daerah.

Secara struktur keterlibatan satuan teritorial sebagaimana hasil riset yang pernah dilakukan pada dasarnya tidak berpengaruh pada kondisi yang ada. Kehadirannya Koter tidak akan maksimal bila payung hukum yang ada belum melindunginya, untuk memberikan kewenangan secara hukum padanya. Namun demikian menginat ada tuntutan masyarakat untuk menolak dan walaupun ada yang setuju dan jumlahnya lebih besar, kedepan TNI perlu menyikapi secara arif sehingga kehadiran TNI diterima oleh semua pihak. Menyikapi tuntutan tersebut dan dalam rangka TNI lebih propesional, maka pengurangan struktur Koter sebagai mana yang yang telah dibahas dalam tulisan sebelumnya dapat diterima, namun demikian pengurangan pada struktur pelaksana di satuan bawah dialihkan fungsinya pada fungsi teritorial di daerah.

b. Keadaan Darurat. Pengaturan keadaan bahaya dalam UU Nomor: 23/PRP Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya meliputi Darurat Sipil, Darurat Militer dan Darurat Perang. Kewenangan menyatakan keadaan darurat ada ditangan presiden sebagai mana dijelaskan Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut : “ Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer, atau keadan perang”. Presiden menyatakan keadaan bahaya atas tanggungjawabnya dan dalam hal ini Presiden bertanggungjawab kepada MPR. Memperhatikan ketentuan tersebut dihadapkan pada pengalaman selama ini, baik pada penanganan kasus pertikaian antaretnis di Kalteng, Kasus Ambon, Kasus Aceh dan Kasus Irian Jaya serta faktor yang berpengaruh dan ancaman yang dihadapi bangsa saat ini, dapat diketengahkan beberapa hal sebagai berikut :
/1) Ketentuan. . . . . . .

1) Ketentuan Keadaan Darurat. Pembagian keadaan darurat seperti darurat sipil, darurat militer dan darurat perang bersifat ekslusif. Dengan pembagian tersebut dapat menimbulkan kerancuan pada masyarakat dan bahkan pada aparat dalam pelaksanaan tugas. Pedoman yang bersifat rinci memang baik bagi unsur pelaksana di lapangan, tetapi bagi masyarakat yang menjadi obyek akan sangat membingungkan, mengingat aturan yang ada sudah mengurangi rasa kebebasan dari individu masyarakat tersebut. Bagi aparat sekalipun, rincinya kewenangan yang dimiliki dapat dijadikan alasan pembenaran terhadap kekeliruan yang mungkin sengaja dilakukan dengan untuk kepentingan pribadi. Di lain pihak dengan adanya pembagian keadaan darurat yang disesuaikan dengan situasi yang berkembang kurang memberikan ketegasan dalam penerapan hukum. Tuntutan fleksibelitas suatu aturan hukum bukan pada isi hukum itu sendiri, tetapi pada keadaan dan penerapannya di lapangan. Penerapan suatu keadaan darurat secara bertahap dapat menimbulkan beberapa implikasi seperti : Pertama, bagi pelaku yang berkepentingan dalam menciptakan keadaan bahaya memiliki ruang manuver untuk menyiapkan keadaan yang menguntung pihaknya dan menempatkan aparat dalam posisi sulit. Disamping itu pelaku memiliki pengalaman dan sebagai medan latihan dalam menghadapi situasi yang lebih sulit. Kebebasan, supremasi hukum dan penegakan HAM yang mereka tuntut telah mengurangi kebebasan masyarakat, melanggar HAM orang lain dan malahan melanggar hukum. Di sisi lain peluang yang ada dapat diperbesar mengingat dalam suasana kejenuhan masyarakat yang penuh dengan ketidakpastian, maka masyarakat akan berpaling kepada pihak yang dianggap mampu, dipercaya bisa memberi rasa aman dan memiliki legitimasi.

Dengan kata lain untuk upaya preventif sistim tersebut kurang memiliki nilai tangkal. Kedua, bagi aparat timbul sikap menduga-duga situasi, sehingga kurang memiliki daya tangap terhadap tugas yang harus dihadapi. Timbul sikap pilih kasih dalam menghadapi tugas yang pada gilirannya dapat menurunkan disiplin pribadi aparat dalam merespon setiap masalah dilapangan.


/Hanya. . . . . . .

Hanya saja dalam menghadapi situasi yang terjadi dilapangan kewenangan yang diberikan kepada aparat dilapangan berbeda sesuai dengan ancaman yang terjadi. Dengan cara ini kelemahan yang ada dari aparat dapat dieleminir dengan memanfaatkan kekuatan yang ada pada faktor yang berpengaruh tersebut. Dengan sistim ini selain memiliki nilai tangkal yang cukup tinggi juga terdapat standarisasi tindakan aparat dalam merespon keadaan darurat.

2) Kewenangan penentuan keadaan darurat. Dalam UU Nomor : 23/PRP Tahun 1959 tentang KB kewenangan menentukan KB dilakukan oleh Presiden. Adapun pertimbangan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : Pertama, Keadaan darurat terjadi sebagai akibat adanya ancaman bahaya berupa keadaan terganggunya keadaan atau ketertiban umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan, pemberontakan bersenjata, atau keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI.[1] Memperhatikan rumusan tersebut, maka keadaan darurat termasuk bidang pertahanan dan keamanan yang merupakan kewenangan pusat. Dengan demikian maka pertimbangan-pertimbangan dan laporannya pun harus berasal dari aparat pusat yang ada di daerah. Hal ini akan memberikan visi yang sama tentang kepentingan pusat di daerah dan sesuai dengan kewenangannya. Disamping masalah gerakan politisasi yang bersifat lokal, pelanggaran HAM dan hukum di daerah dapat dieleminir. Peluang yang ada dengan mengedepankan aparat TNI, khususnya Satter dapat dieksploitir dengan memanfatkan kejenuhan masyarakat akan situasi kacau yang dialami selama ini dan kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat terhadap TNI. Bagi aparat sendiri kelemahan yang ada seperti masa lalu TNI yang kurang mendukung dan masalah kualitas pesonil aparat dapat dieleminir dengan kekuatan dari faktor internal yang berpengaruh. Kedua, Memperhatikan kasus pertikaian antar etnis yang terjadi di Kalteng yang telah nyata-nyata membawa korban jiwa dan harta benda yang cukup besar, hancurnya strata sosial masyarakat di daerah dan ada indikasi menjurus kearah gerakan separatis, ternyata masyarakat dan pemerintah daerah tidak menghendaki di berlakukannya keadaan darurat. Kriteria terganggunya ketertiban umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan sudah terbukti.
/Apabila. . . . . . .

Apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat dapat menjurus kepada pemberontakan bersenjata atau keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI, indikasi kearah itu sudah ada.

Keberhasilan penerapan kebijakan pemerintah pusat dapat dijadikan keberhasilan politik penguasa. Sedangkan bila terjadi kegagalan dapat dilimpahkan sebagai akibat kesalahan tehnis dalam pelaksanaan dilapangan. Sementara itu pemerintah daerah yang juga elit politik lokal, merasa prestige pemerintahannya akan jatuh, bila diberlakukan keadaan darurat, karena menyangkut masalah tanggung jawab kepala pemerintahan di daerah. Disamping itu pimpinan pemerintahan daerah juga memiliki intres tertentu, baik menjaga relasinya dengan para pelaku yang menciptakan keadaan bahaya, maupun memiliki persamaan visi dengan pelaku untuk kepentingan tertentu. Indikasi lain adalah upaya daerah untuk mempertinggi nilai tawar daerah terhadap pusat, sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang tersendat atau memang ada keterlibatan sebagaian besar oknum pejabat daerah dibalik semua gerakan yang menimbulkan kerusuhan tersebut. Dari penjelasan tersebut sepantasnya laporan dan saran kepada pemerintah pusat merupakan kewenangan aparat pusat yang ada di daerah dijadikan pertimbangan untuk memutuskan pemberlakuan keadaan darurat, bukan laporan dan saran dari pemerintah daerah yang sarat dengan kepentingan daerah.

3) Penanggung Jawab keadaan darurat. Pengendalian kegiatan dalam keadaan darurat sesuai UU Nomor : 23 / PRP Tahun 1959 adalah Kepala Daerah selaku penguasa keadaan darurat sipil di daerah dibantu oleh suatu badan terdiri dari Komandan Militer tertinggi serendah-rendahnya Komandan Kesatuan Resimen Angkatan darat atau Komandan Kesatuan Angkatan Laut/udara yang sederjat dengan itu dibantu oleh Kepala Daerah dan Kepala Kepolisian Daerah serta Kepala Kejaksaan dari daerah yang bersangkutan.




/Ketentuan. . . . . . .

Ketentuan ini banyak mengandung kelemahan dan kendala dilapangan sesuai dengan pengalaman selama ini. Dalam Pasal 40 (1) UU RI Nomor : 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara RI mengatakan “ Presiden menyatakan berlakunya keadaan bahaya untuk seluruh wilayah negara ataupun sebagian dari padanya sesuai dengan intensitas ancaman yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat atau kelangsungan hidup bangsa dan negara serta keutuhan wilayah maupun persatuan dan kesatuan nasional”.[2] Selanjutnya dalam penjelasan undang-undang tersebut dikatakan “ Hal-hal yang yang mendasari kewenangan presiden untuk mengeluarkan pernyataan berlakunya keadaan bahaya diantaranya : a. terjadinya pemberontakan atau perlawanan bersenjata terhadap kedaolatan negara atau terjadinya bencana yang mengancam keamanan dan ketertiban hukum dan dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh unsur-unsur kekuatan pertahanan keamanan negara secara biasa; b. terjadi hal-hal yang langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan timbulnya sengketa bersenjata; c. timbulnya hal-hal yang dapat membahayakan kelangsungan hidup negara.[3] Sementara itu dalam Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 9 (1) “Dalam keadaan darurat Kepolisian Negara RI memberikan bantuan kepada TNI, yang diatur dalam undang-undang”[4].
Selanjutnya dalam UU RI Nomor : 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI pasal 13 “ Kepolisian Negara RI bertugas : a. selaku alat negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum; b. dan seterusnya . . . ” [5] Memperhatikan penjelasan dan kutipan tersebut diatas dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut : Pertama, dalam keadaan darurat terjadi keadaan “anomi” yaitu hukum tidak berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Kedua, dalam keadaan darurat tugas kepolisian adalah membantu TNI untuk mengembalikan wibawa hukum. Dengan penjelasan tersebut maka tanggung jawab pengendalian dalam keadaan darurat merupakan kewenangan pejabat militer setempat.
/c. Payung. . . . . . . . .

c. Payung Hukum Pertahanan dan Penyiapan Potensi Pertahanan di Daerah. Ketentuan hukum yang secara tegas mengatur masalah pertahanan dan kewenangan pemanfaatan potensi wilayah untuk pertahanan dapat diketemukan dalam perundang-undangan sebagai berikut :

1) UU RI Nomor : 20 Tahun 1982 tentang Hankamneg dan UU RI Nomor : 1 Tahun 1988 tentang Perubahan UU RI Nomor : 20 tahun 1982. Dengan adanya Keputusan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000 tetang Peran TNI dan Peran Kepolisian RI, maka UU RINomor : 20 tahun 1982 menjadi tidak relevan lagi sehingga perlu adanya perubahan.

2) RUU Nomor : 27 Tahun 1977 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi. Dengan adanya pengalihan fungsi Binter sebgai fungsi pemerintahan, maka peran Pemda dalam Otda relatif kuat, maka RUU Nomor:27 Tahun 1977 inipun perlu diadakan perubahan sesuai dengan tuntutan saat ini.

3) UU RI Nomor : 22 Tahun 1999 tantang Pemerintahan Daerah. Hal senada juga perlu diberlakukan terhadap UU ini mengingat adanya perubahan kebijaksanaan di masa depan dalam pengelolaan Binter kedepan.

Dari sedikit payung hukum yang ada, maka untuk lebih memantapkan pelasanaan mekanisme Binter kedepan dan kaitannnya dengan pelaksanaan pertahanan dan pengelolaan potensinya perlu ada payung hukum yang mengatur sehingga dapat memberikan azas legalitas dalam melakukan kegiatan pembinaan.

d. Pentahapan.

1) Masa Transisi. Pada masa transisi ini perlu adanya pengaturan yang jelas untuk keterlibatan TNI dalam masalah Binter sambil memberikan pemahaman yang lebih baik pada Pemda pada masalah Binter dari aspek pembinaan potensi pertahanan di daerah.

/Hal. . . . . . .

Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya kepakuman dalam kewenangan dalam pembinaan dilapangan. Durasi waktu untuk masa transisi ini perlu diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

2) Masa Damai. Perlu adanya pegaturan secara hukum sehinga dalaam masa damai keterlibatan TNI dalam masalah Binter dapat dilaksanakan dengan baik tanpa mengorbankan kepentingan institusdi. Kegiatan kepelatihan yang dilaksanakan agar berpedoman pada kebtuhan dan dukungan yang ada dan melui kesepakatan (MoU) oleh pihak terkait.

4. Agenda Tindakan.

a. Tataran Kewenangan. Kewenangan TNI dalam masalah Binter untuk kepentingan Pertahanan perlu dipertahankan adalah sebagai berikut :

1) Kemampuan Intelijen Teritorial. Kemampuan ini sangat dibutuhkan dalam rangka menyiapkan informasi pertempuran di wilayah mana perang akan dilaksanakan. Dengan demikian tindakan yang dilakukan di daerah tepat dan tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat dan sumber daya yang ada.

2) Penyiapan Kekuatan Pertahanan Wilayah. Sebagai konsekuansi dari fungsi pertahanan yang di emban oleh TNI, maka penggunaan kekuatan pertahanan mutlak harus dipegang oleh Koter di daerah sebagaai kepanjangan tangan Panglima TNI di daerah,

3) Pembinaan Rakyat Terlatih. Sebagai unsur dari kekuatan pertahanan yang ada, maka sangat logis bila Koter memiliki kewenangan dalam melaksanakan pembinaan terhadap rakyat terlatih dalam hal ini bertindak sebagai peltih rakyat di daerah untuk menggadakan kekuatan TNI dila diperlukan.

/4) Melaksanakan. . . . . .



4) Melaksanakan tugas mengatsi Pemberontkan bersenjata atas persetujuan Dewan PerwakilanRakyat. Hal ini perlu dipertegas karena nuansa gerakan bersenjata ada kaitannya dengan masalah politik, sehinga pengerahan TNI untuk mengatasi masalah tersebut harus mendapat persetujuan DPR.

5) Melaksanakan kegiatan dalam penangulangan Bencana Alam. Sebagai komponen pertahanan yang ada dalam keadaan darurat bencana alam, maka kekuatan TNI dapat digunakan tanpa permintaan dari Pemda tetapi atas inissiatif Koter di daerah yang selanjutnya penyelesaian masalah dukungan perlu diselesaikan dengan Pemda setempat.

6) Membantu Tugas Kepolisian dan Pemda dalam mengatasi kerusuhan Masa. Dalam keadaan tertentu, maka kehadiran TNI untuk membantu Polri maupun Pemda perlu ada pengaturan yang lebih tegas, terutama pada mekanisme dukungan dana dan komando pengendalian dilapangan.

7) Membantu mengatasi kepentingan Nasional yang terancam. Hal ini memang sangat sumir, mengingat kepentingan nasionalpun relatif sulit didefinisikan, mengingat masalah tersebu merupakan masalah politik. Namun demikian perlu ditentukan secara tegas sehingga keterlibatan TNI memiliki landasan yang kuat.

8) Melaksanakan tugas Perdamaian Dunia. Hal ini sebagai penjabaran dari Pembukaan UUD 1045, namun dalam pelaksanaannya perlu ada peraturan perundang-undangan yang mengikat.

b. Pentahapan.

1) Masa transisi. Pada masa transisi perlu adanya sosialisasi dan pelimpahan kewenangan secara bertahap untuk mampu dijabarkan dalam program kegiatan di Pemda, sehingga mekaanisme Binter dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh daerah.
/2) Masa ……

2) Masa Damai ke depan. Ke depan kewenangan Binter sepenuhnya merupakan kewenangan Pemda, khususnya dalam pengelolaan sumber daya pertahanan di daerah untuk menjadi kekuatan pertahanan. Dalam kondisi demikian orientasi penyiapan sumber daya yang ada di daerah dapat disiapkan secara maksimal guna kepentingan pertahanan dan pada saat dibutuhkan dapat digunakan menjadi kekuatan pertahanan.

c. Ketentuan Keadaan Darurat. Perlu pengaturan keadaan darurat yang meliputi keadaan Darurat Menghadapi Bencana Alam, Darurat Sipil, Darurat Militer dan Darurat Perang. Hal ini untuk mewadahi keterlibatan TNI secara langsung pada kondisi menghadapi Bencana Alam tanpa perlu ada permintaan dari Pemda. Namun demikian berdasarkan berbagai pertimbangan dan pengalaman selama ini perlu juga dipertimbangkan pemberlakuan keadaan darurat berlaku umum, sedangkan tindakan aparat disesuaikan dengan kondisi yang ada dilapangan.

d. Penetapan Landasan Hukum. Ketentuan hukum dalam pelaksanaan Binter dan kaittannya dengan penyelenggaraan pertahanan di daerah di masa depan perlu adanya landasan hukum yang mendasri sehingga tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Adapun payung hukum yang perlu dibuat meliputi :

1) Perubahan UU RI nomor : 20 Tahun 1982 tentang Hankamneg, sehingga lebih spesifik dengan adanya pemisahan peran TNI dan Peran Polri.

2) Perubahan RUU nomor : 27 Tahun 1977 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi, hal mana dalam UU tersebut diatur ketentuan penyiapan potensi wilayah masih pada unsur TNI. Perubahan yang diharapkan pada tataran kewenangan untuk pengelolaan pada Pemda.

3) Perubahan UU RI Nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemda Daerah perlu diadakan perubahan untuk mewaadahi pengalihan fungsi Binter ke depan khususnya dalam rangka pembinaan potensi pertahan yang ada di daerah.


/ 4) Pengadaan ……

4) Pengadaan UU baru berkaita dengan hal-hal sebagai berikut :

a) Pembinaan Ratih.
b) Penetapan terhadap Industri strategis untuk kepentingan perang.
c) Dan lain-lain.

5. Penutup. Demikian makalah ini dibuat semoga dapat memberikan masukan yang berarti bagi penyusunan naskah workshops selanjutnya.


Jakarta, 15 Agustus 2001
[1] UU RI Nomor : 20 Tahun 1982 Pasal 40 (1) Hal - 54.
[2] Ibid Hal - 54.
[3] Ibid Hal - 81
[4] Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000
tentang Peran TNI dan Polri Hal- 86
[5] UU RI Nomor : 28 Tahun 1997 tentang Polri Hal - 10.